By - humas polimedia

Meningkatkan Martabat Pendidikan Vokasi untuk Generasi Emas 2045

Pendidikan vokasi sering kali menjadi sasaran stigma negatif di masyarakat. Dari cap sebagai “sekolah anak-anak lemah intelektual” hingga tudingan bahwa institusi ini hanya berfungsi sebagai “pabrik buruh untuk kapitalis,” pendidikan vokasi menghadapi tantangan besar dalam mengubah persepsi. Namun, dengan mendekatnya momentum Generasi Emas 2045, di mana Indonesia diproyeksikan memiliki 70% populasi usia produktif, pendidikan vokasi justru memegang kunci untuk menghadapi bonus demografi.

Indonesia saat ini tengah menghadapi paradoks. Di satu sisi, pendidikan diharapkan menjadi jalan keluar dari meningkatnya angka pengangguran terdidik. Di sisi lain, banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap di dunia kerja karena ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dan kebutuhan industri. Fenomena ini menunjukkan perlunya pembaruan dalam sistem pendidikan, termasuk pendidikan vokasi.

Selama ini, masyarakat cenderung mengidolakan pendidikan berbasis intelektual dibandingkan dengan pendidikan berbasis keterampilan. Hal ini tak lepas dari kesenjangan penghasilan antara lulusan sarjana dan diploma, yang menyebabkan pekerjaan teknis sering kali dianggap kurang prestisius. Padahal, beberapa profesi vokasional, seperti chef, kini mulai naik kelas dengan tawaran finansial yang menggiurkan dan pengakuan yang lebih baik dari masyarakat.

Ironisnya, pandangan ini mengabaikan pentingnya peran keterampilan teknis dalam kehidupan sehari-hari. Apakah seorang teknisi listrik yang menjaga aliran listrik ke rumah-rumah lebih rendah nilainya dibandingkan dosen yang mengajarkan sastra? Keduanya memiliki peran penting yang tak bisa diabaikan. Pengabaian ini mencerminkan warna kelas sosial dalam pandangan kapitalisme yang membagi pekerjaan menjadi “mental” dan “fisik.”

Pakar pendidikan modern, seperti Maria Montessori, telah menunjukkan bagaimana keterampilan motorik dan sensorik dapat mendukung kemampuan intelektual. Penguasaan keterampilan teknis, seperti yang dimiliki seniman dan ilmuwan legendaris Michelangelo, membuktikan bahwa perpaduan antara kemampuan mental dan fisik menghasilkan karya luar biasa.

Pendidikan vokasi masa kini harus melampaui paradigma lama yang membagi pembelajaran menjadi 70% praktik dan 30% teori. Lulusan vokasi tidak hanya perlu menjadi teknisi atau pekerja terampil, tetapi juga pemikir strategis yang memahami kerangka kerja di balik keahlian mereka. Mereka harus mampu memperbaiki, menciptakan, dan memproduksi dengan landasan berpikir kritis dan analitis.

Dalam mewujudkan Generasi Emas 2045, pendidikan vokasi memiliki peran strategis untuk mempersiapkan tenaga kerja yang adaptif, inovatif, dan tangguh. Dengan transformasi paradigma dan dukungan semua pihak, stigma negatif terhadap pendidikan vokasi dapat ditepis, menjadikannya sebagai salah satu jalan utama menuju masa depan gemilang Indonesia.